Friday, May 8, 2009

Panggilan Hidup Bakti

Panggilan hidup merupakan ajakan untuk bergerak sebagaimana mestinya sebagai mahkluk ciptaan Allah. Panggilan hidup merupakan sebuah tawaran dari Allah agar umat-Nya berani dan mau terlibat dalam menghidup kembangkan karya ciptaan-Nya. Ada banyak tawaran hidup yang harus kita pilih. Istilah umum yang sering kita dengar adalah hidup berkeluarga dan hidup membira. Tentang hidup berkeluarga sudah sangat jelas dan umum telah dipilih oleh hampir sebagaian besar manusia. Namun dalam tradisi Katolik ada suatu corak hidup yang lain yang dipilih oleh sebagian orang, yaitu corak hidup bakti dengan menjadi biarawan/biarawati. Mereka inilah orang-orang yang tertangkap oleh Kristus dan mau membaktikan hidupnya bagi Gereja.


Di dalam Vita Consecrata art.1 dikatakan bahwa “ Di setiap masa ada orang-orang pria maupun wanita yang mematuhi panggilan Bapa dan dorongan Roh Kudus dan memilih cara khusus itu dalam mengikuti Kristus, guna membaktikan diri kepada-Nya dengan hati yang tak terbagi. Seperti para rasul, merekapun telah meninggalkan segala sesuatu untuk menyatu dengan Kristus dan seperti Dia mengabdikan diri kepada Allah serta kepada saudara-saudari mereka. Begitulah, melalui sekian banyak kharisma hidup rohani dan kerasulan, yang dianugerahkan kepada mereka oleh Roh Kudus, mereka membantu menjadikan misteri dan misi Gereja memancarkan sinar dan dengan demikian berperan serta demi pembaruan masyarakat.


Di Indonesia ada beberapa kongregasi bruder dan frater dengan jumlah anggota yang bervariasi. Disamping itu ada juga kongregasi, tarekat atau ordo yang terdiri dari Imam dan Bruder. Setiap kongregasi mempunyai jenis karya kerasulan masing-masing sesuai dengan kharisma/semangat awal para pendiri kongregasi mereka. Kongregasi Bruder FIC yang didirikan pada tahun 1840 di Maastricht Belanda, diwarnai oleh karya utama pendidikan dan pengajaran serta pembinaan bagi kaum muda. Hal ini karena Pastor Ludovicus Rutten, pendiri kongregasi para bruder FIC pada awalnya tergerak hatinya oleh kaum muda di Maastricht Belanda pada waktu itu.


Imam muda ini mengalami suatu panggilan untuk menyerahkan seluruh hidupnya dan semua kekayaannya bagi pelayanan pendidikan dan pembinaan kristiani kaum muda, yang terlantar, tidak mendapatkan perhatian dari orang tuanya karena sibuk dengan bekerja. Rutten mulai dengan mengajarkan kepada anak-anak kecil di emperan Basilik St. Servasius di Maastricht. Dari sinilah, kemudian sekolah-sekolah berkembang dan menyebar ke kota-kota lain di seluruh negeri Belanda.Dari Belanda Kongregasi FIC berkembang ke Asia (Indonesia) Afrika ( Ghana dan Malawi) dan Amerika Selatan (Chile). Pernah juga berkarya di Mosambig, Seraleon dan Pakistan. Namun dari ketiga tempat tersebut mengalami pergolakan politik yang tidak menentu akhirnya para para Bruder ditarik kembali dari medan pelayanan dari ketiga tempat tersebut. Hingga pada akhirnya FIC diundang oleh romo-romo Yesuit untuk datang ke Yogyakarta pada tahun 1920, yang ditandai dengan kedatangan lima bruder Belanda di Yogyakarta. Mulailah sekolah –sekolah bruderan didirikan. Dari Yogyakarta berkembang ke Muntilan, Ambarawa, Surakarta, Semarang, Klaten dan daerah-daeah lain di Jawa Tengah, kemudian menyebar ke daerah lain seperti Jakarta, Sumatera, Kalimantan dan Papua, lewat karya kerasulan pendidikan melalui Yayasan Pangudi Luhur. Tidak hanya karya pendidikan saja yang ditangani namun masih ada karya lain yang menjadi tanda kesetiaan hadirnya bruder-bruder FIC. Hal ini yang sesuai dengan Refleksi Dasar Konstitusinya “ terbuka terhadap tanda-tanda zaman dan terhadap Roh yang berhembus kearah yang dikehendaki-Nya. Karya-karya non pendidikan yang ditangani oleh para bruder FIC antara lain berupa asrama dan panti asuhan, Rumah Retret Syalom Bandungan, Institut Roncalli Salatiga, Pertenunan Santa Maria Boro, Percetakan Pangudi Luhur Muntilan serta unit produksi kayu dan logam.
Semua itu ditempuh untuk memberikan pelayanan yang sesuai dengan kebutuhan dan tuntutan zaman. maka bagi para bruder secara terus menerus perlu meningkatkan kualitas diri baik dalam hidup maupun karya kerasulannya.

Wednesday, May 6, 2009

Promosi Panggilan dengan Ber Live-in


Istilah Live in banyak dipilih oleh istitusi sekolah khususnya untuk anak-anak usia SMA,untuk belajar hidup dan tinggal beberapa waktu, dan menyelami kehidupan di desa.Namun kali ini program live in tidak hanya berlaku bagi anak-anak usia SMA saja. Kamipun para Biarawan/wati juga melakukan hal serupa dengan tujuan yang berbeda tentunya. Saat menjalani masa Novisiat tahun kedua selama kurang lebih satu setengah bulan saya bersama teman-teman seangkatan juga pernah menjalani kegiatan ini dengan hidup bersama dengan masyarakat desa di sekitar Waduk Gajahmungkur- Wonogiri.
Situasi Desa yang kami tempati dengan pola kehidupan yang kental dengan bertani dan bercocok tanam serta ikatan masyarakat yang kuat dengan paguyuban dan kekeluargaanya. Selain itu program live in ini dipergunakan sebagai sarana untuk lebih dekat dengan umat untuk memperkenalkan panggilan kami sebagai Bruder FIC .

Untuk menyambut hari Minggu Panggilan pada tahun 2009 ini saya mendapat undangan untuk mengikuti kegiatan live in di Paroki Keluarga Kudus Parakan-Temanggung. Sasaran yang hendak dicapai dengan memilih kegiatan ini adalah untuk memperkenalkan suatu pilihan hidup panggilan sebagai Suster, Bruder, Frater dan Romo kepada umat. Dengan begitu umat/orang tua mempunyai kesadaran untuk ikut bertanggung jawab terhadap perkembangan Gereja dengan memperkenalkan suatu pilihan hidup khususnya menjadi Biarawan/wati kepada putra-putrinya.
Panitia mengundang beberapa aneka tarekat dan kongregasi yang terdiri dari Suster, Bruder dan Frater diantaranya dari Yogyakarta, Semarang, Purworejo, Magelang, Muntilan dan Parakan - Temanggung sendiri tentunya. Para peserta disebar dibeberapa wilayah di sebuah keluarga Katolik diantaranya wilayah Parakan kota, wilayah, Ngadirejo, Karanggedong, Payung gunung , Candiroto, Mangunsari dan Kebondalem.

Penduduk wilayah Candiroto yang saya tempati sebagian besar orang-orang tua dan anak-anak kecil dan sebagian baru menginjak remaja . Dan keluarga yang saya tempati tidak asing dengan sosok seorang Bruder karena pernah mengenyam pendidikan yang dikelola oleh para Bruder FIC beliau adalah Bapak F. Tukidi yang lulus SPG Pangudi Luhur Kidul Loji tahun 1985, yang sekarang mengajar di salah satu SD Negeri di dekat tempat tinggalnya. Disamping itu beliau juga menyediakan waktunya untuk kegiatan dan pelayanan gereja, terbukti dengan beberapa tugas yang pernah diterimanya. Pernah menjadi pamong wilayah, menjadi Prodiakon Paroki serta saat ini menjabat sebagai Dewan Paroki Keluarga Kudus Parakan. Semua itu dilakukan dengan ikhlas dan murah hati demi pemberdayaan dan pengembangan umat di wilayahnya. ” Saya senang kalau umat katolik di wilayah ini guyup, dan rajin berdoa” demikian yang beliau ungkapkan saat mengadakan sharing keluarga.

Pada malam hari para peserta live in diajak untuk sarasehan dan sharing bersama, umat ataupun keluarga yang ditempatinya. Kemudian hari Minggu pagi pk. 08.00 diadakan Misa bersama seluruh umat di wilayah tersebut dengan seluruh peserta live in.
Kotbah dari Romo diganti dengan sharing panggilan serta memperkenalkan tarekatnya masing-masing. Kemudian setelah misa selesai dilanjutkan dengan ramah-tamah dan dilanjutkan dengan sarasehan bersama umat.
Semua peserta yang terdiri dari Bruder MTB, Bruder FIC, Suster OSF, Suster PI ,Suster PBHK dan para siswa Seminari Mertoyodan membagikan pengalamannya berkaitan dengan panggilannya serta memperkenalkan tarekatnya masing-masing.
Pada penghujung acara Br.Baptista MTB memperkenalkan serta mempraktekkan cara pembuatan pupuk organik, sehingga umat cukup antusias untuk mengikutinya.

Pemahaman
Kemudian apa yang dicari para bruder, suster dan frater ditempat live in tersebut? Kebanyakan orang berpikir bahwa panggilan hidup dengan menjadi biarawan/wati hanya untuk orang-orang tertentu saja. Padahal kenyataannya tidak demikian. Bahwa semua umat beriman dipanggil oleh Allah untuk memperoleh kekudusan, apapun bentuknya. Hanya tinggal bagaimana setiap pribadi tersebut mau atau tidak menanggapi sapaan dan ajakan dari Allah sendiri. Keistimewaan dipilih Tuhan menjadi biarawan/wati atau orang sukses adalah karena kita mampu melengkapi diri dengan pengalaman dan terlebih mau dan mampu menanggapi tawaran dari Allah sendiri. Dengan keyakinan dan nilai-nilai iman, moral, nilai sosial yang diperoleh dari belajar tentang kehidupan yang sebenarnya. Karena kita sebenarnya serba terbatas serba lemah, maka kita harus memiliki keyakinan tentang nilai kehidupan yang mulia, tentang tujuan hidup yang tidak hanya sebatas pada nilai duniawi semata tetapi juga mempunyai nilai hidup yang mempunyai tanda eskatologis bagi sesamanya.
Maka dengan kegiatan pengenalan diri oleh para suster, bruder dan frater dalam program Live in di Parakan ini, diharapkan akan terbangun suatu kesadaran dan wawasan baru bagi orang tua untuk mengarahkan anaknya ke jalan panggilan Tuhan. Juga terbangun suatu wawasan pada diri anak bahwa panggilan itu tidak hanya terbatas pada hidup berkeluarga namun ada suatu corak dan pilihan hidup yang khusus yang dimiliki oleh Gereja Katolik.

Manfaat bagi peserta live in(Suster, Bruder, Frater)
Dengan memberikan introduksi keadaan tempat live in berupa wilayah dan keluarga yang ditempati, diharapkan para suster, bruder, frater siap terjun dan menyatu dengan masyarakat di dalam karya dan perutusannya terlebih untuk tarekat atau kongregasi yang aktif apostolik. Sasaran lainnya, para suster, bruder, frater diintegrasikan dengan tinggal bersama dengan keluarga minimal mampu menyelami kehidupan yang lebih luas yang berbeda dengan lingkungan komunitas atau biaranya. Sasaran lebih jauh , para suster, bruder, frater bisa menemukan apa hakekat kehidupan. Bagaimana sikap keimanan yang kuat dari orang-orang desa, menjadi orang yang sabar, tetapi tidak mudah menyerah.

Dengan mengikuti kegiatan live in para suster, bruder, frater juga diharapkan menjadi orang yang harus mampu mengatasi keadaan dengan tekun dan ulet. Juga menciptakan kehidupan bermasyarakat dengan saling memberi dan menerima dengan pola kerukunan yang menjunjung rasa kebersamaan, persaudaraan, jauh dari sikap egois dan menang sendiri. Sehingga dengan perilaku yang positif tersebut diharapkan mampu untuk menggerakkan hati orang-orang muda mengikuti jejaknya dengan menjadi suster, bruder, frater maupun romo.* SEMOGA!

Sunday, May 3, 2009

Bahagia Menjadi Saksi Kristus


Di Doamu Namaku Disebut, begitulah tema yang diangkat dalam pertemuan para orang tua yang putra-putrinya dipanggil menjadi Suster, Bruder dan Romo. Acara yang diprakarsai oleh IKHRAR Rayon Semarang tersebut dilaksanakan pada tanggal 25-26 April 2009 di Rumah Retret Griya Paseban Semarang. Acara dikemas dalam bentuk Rekoleksi yang diawali dengan wawanhati bersama dengan Mgr. Ignatius Suharyo Uskup Keuskupan Agung Semarang. Dalam kesempatan wawanhati ini Mgr. Ignatius Suharyo membagikan gambar kepada para peserta yaitu sepasang suami istri yang diangkat sebagai beato dan beata pada tanggal 21 Oktober 2005. Mereka adalah orang pertama yang menjadi orang kudus pasangan suami istri. Bahwa jalan kekudusan bukan saja hanya dimiliki oleh para rohaniwan dan biarawan/wati saja, namun semua orang di panggil untuk menjadi kudus. Mereka ini menjadi suci karena mereka melakukan hal-hal yang biasa, tetapi dengan cara yang luar biasa. Luar biasa karena hidupnya selalu menimba kekuatan dari sabda Allah dan berbahagia dalam menghayati hidup panggilannya. Kemudian setelah selesai acara wawanhati dan tanya jawab acara dilanjutkan dengan perayaan ekaristi yang juga dipimpin oleh Bapak Uskup dengan didampingi oleh Rm. Santoso MSF. Dalam homilinya Mgr. Suharyo mengajak kepada para orang tua terpanggil tersebut untuk bersemangat dalam memberi kesaksian tentang hidupnya kepada Allah sang pemberi segalanya. Bahwa kesaksian tentang Allah dimana-mana dibutuhkan, terlebih ditempat yang tepencil, sepi dan sulit. Mgr Suharyo berharap, kepada bapak-ibu yang hadir dalam pertemuan ini untuk tidak usah ragu-ragu jika anak-anaknya yang menjadi Suster, Bruder dan Romo jika ditempatkan ditempat yang terpencil, sulit, dan sepi. Mereka itu menjadi saksi Kristus, dan memperoleh kebahagiaan juga dengan segala macam karya yang dijalaninya untuk orang lain.

Setelah makan malam kemudian Rm. Eko Yuwantoro MSF, Br. William FIC dan Sr. Goretti OSF membagikan pengalamannya menjalani hidup panggilan yang telah dipilihnya. Romo Eko mengungkapkan bahwa panggilan adalah suatu misteri dalam perjumpaan dengan Allah. Pergulatan dan perjuangan sebagai Romo ditugaskan ditempat yang tidak enak, tetapi tetap bahagia. Tuhan tetap ada dan menjadi kekuatan nya. Pengalaman dalam perjumpaan dengan sesama yang menguatkan.
Kemudian Br. William FIC mengungkapkan pergulatannya sebagai Bruder. Awal panggilan dari keluarga bukan Katolik. Setelah pindah agama lalu di”usir” dari keluarga, lalu tinggal bersama neneknya. Setiap pergi ke gereja harus sembunyi-sembunyi. Suatu saat di”cangking” Romo Belanda, yang terkesan pada saat dipegang kepalanya dan mendorongnya menjadi Katolik. Namun Setelah menjadi Katolik hubungan dengan keluarga menjadi renggang. Namun ia tetap jalan terus dan memutuskan untuk menjadi Bruder FIC. Lain lagi dengan Sr. Goreti OSF. Keinginan untuk menjadi suster jauh sebelum katolik. Pada awalnya melihat seorang suster Belanda saat menyeberang jalan dan menghampirinya lalu tertarik.. Walupun beliau orang Belanda tetapi baik dan ramah.Walaupun selama sepuluh tahun tidak mendapat dukungan dari keluarga., namun Sr. Goreti tetap bahagia dan tidak pernah menyesal menjadi suster karena dengan menjadi suster semua menjadi bisa dan tetap ingin jadi suster yang baik.

Pada hari minggunya para peserta diajak untuk lebih memahami serta memaknai tentang ”Pengaruh Keluarga Dalam Menanamkan dan Dalam Mendukung Kesetiaan Panggilan Hidup Bakti”, yang disampaikan oleh Romo Mulyono MSF. Bahwa keluarga bagaikan seminari yang pertama. Ini sangat membantu bagi anak untuk membantu dan mendukung masuk sebagai biarawan/ wati, atau imam, sehingga menjadi pendukung dan menjadi motivasi bagi anak. Maka keluarga juga perlu untuk memberikan kebebasan kepada anak dengan kegiatan gereja (misdinar, koor). Supaya semakin dekat dengan biarawan/wati dan imam dengan harapan supaya ada panggilan.
Kemudian dilanjutkan dengan sharing dalam kelompok dengan bahan pendalaman antara lain tanggapan dan reaksi orang tua ketika anaknya memohon doa restu untuk menjalani kehidupan sebagai religius? Apakah rela, bersyukur, gembira, bangga atau sebaliknya kecewa, marah, sedih? Perasaan orang tua, bila anak yang terpanggil ditugaskan di tempat yang sangat jauh dan terpencil di daerah pedalaman, jauh dari keramaian kota? Ketika anak yang terpanggil menyatakan diri mau keluar dan merasa sudah tidak krasan lagi di biara dan ingin keluar, bagaimana tanggapan orangtua menyikapi hal ini? Apakah mencela, malu, sedih ataukah memberi dukungan doa dan perhatian agar tabah dan menekuni panggilan yang sudah dijalaninya?Harapan orang tua untuk religius di jaman sekarang, mengingat kehidupan religius sekarang ini tantangannya cukup berat? Dari hasil sharing bersama antar kelompok tersebut kemudian diplenokan sehingga semakin dapat memperkaya antara antar peserta, sehingga semakin dapat memberikan dukungan kepada putra-putrinya yang menjalani panggilan sebagai religius.
Di penghujung acara terbentuklah suatu paguyuban orang tua terpanggil yang terbagi dalam beberapa wilayah dengan menunjuk beberapa peserta sebagai koordinatornya. Dengan terbentu paguyuban orang tua terpanggil tersebut diharapkan semakin dapat memberikan dukungan kepada putra-putrinya terlebih juga dapat saling mengenal dan memberikan kekuatan.